
Tasikmalaya (21/10) — Pasca disahkannya Omnibuslaw UU Cipta Kerja, muncul kekhawatiran pada pengusaha Industri Pos dalam negeri akan eksistensi mereka di industri ini.
Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo) kemudian mengirim surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada 15 Oktober 2020 untuk meminta kejelasan.
Pasalnya setelah Asperido mempelajari UU Cipta Kerja, dengan mengacu kepada RUU versi 5 Oktober 2020 (pengesahan oleh DPR) dan membandingkan dengan UU No.38 tahun 2009 tentang Pos, ternyata, UU Ciptaker tersebut akan berdampak terhadap industri jasa pengiriman ekspres, pos, dan logistik nasional di Indonesia.
Menanggapi hal tersebut, Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Toriq Hidayat mengatakan kekhawatiran mereka atas UU Cipta kerja adalah yang wajar sebagaimana kekhawatiran Fraksi PKS saat membahas rancangan UU Cipta Kerja terkait klaster ini di Badan legislatif DPR RI.
“Karenanya Kami tegaskan agar pasal-pasal dalam UU No. 38 tentang Pos tidak perlu masuk dalam pembahasan. Namun sayangnya banyak usulan Kami ditolak,” tegas Anggota Komisi I DPR RI ini.
“Padahal UU No 38 Tahun 2009 tentang Pos sesungguhnya telah membuat pengusaha Industri Pos swasta nasional berkontribusi membangun Indonesia melalui industri ini. Bahkan saat ini telah eksis ratusan perusahaan industri Pos swasta Nasional dengan lebih dari 40.000 titik layanan yang tersebar di seluruh Indonesia”, ungkapnya.
Politikus PKS ini menjelaskan, dalam Pasal 12, UU No.38 tahun 2009 tentang Pos dinyatakan bahwa Penyelenggara Pos asing dapat menyelenggarakan pos di Indonesia dengan syarat wajib bekerja sama dengan Penyelenggara Pos dalam negeri; melalui usaha patungan dengan mayoritas saham dimiliki Penyelenggara Pos dalam negeri; sahamnya tidak boleh dimiliki oleh warga negara atau badan usaha asing yang berafiliasi dengan Penyelenggara Pos dalam negeri.
“UU No.38 tahun 2009 jelas menegaskan swasta asing boleh menanamkan modal dengan syarat-syarat tertentu. Tujuan UU ini agar pengusaha-pengusaha nasional dalam negeri turut mengembangkan industri Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik di Indonesia. Tidak hanya dimonopoli oleh perusahaan BUMN”, ungkapnya.
“Namun UU Cipta kerja menyebutkan, Pemerintah Pusat mengembangkan usaha penyelenggaraan Pos melalui penanaman modal, Penyelenggara Pos Asing yang telah memenuhi persyaratan dapat menyelenggarakan Pos di Indonesia. Karena pasal ini tidak detail menyebutkan persyaratannya maka sangat mungkin lambat laun industri ini diambil oleh swasta asing”, ungkapnya lagi.
Berikutnya, pada pasal 13 dalam UU No.38 tahun 2009 dinyatakan bahwa Kerja sama Penyelenggara Pos dengan Penyelenggara Pos asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan Penyelenggara pos dapat menjadi perusahaan publik atau perusahaan terbuka setelah mendapat izin dari Menteri.
“Namun dalam Undang-Undang Cipta Kerja, pasal 13 dihapuskan. Kami memandang pada saat pembahasan, penghapusan pasal 13 menimbulkan ketidakpastian akan lembaga yang bertanggungjawab terhadap industri pos ini. Maka tidak heran, jika saat ini Asperindo bersurat ke Kominfo sebagai lembaga yang bertanggungjawab, dengan mengacu UU sebelumnya”, jelas Toriq.
“Dalam pandangan kami UU Cipta kerja ini, masih terdapat pasal-pasal yang berpotensi mereduksi nasionalisme, khusus terkait dengan dibukanya peluang investasi swasta asing pada industri-industri strategis deperti industri pertahanan dan pos. Seharusnya produk UU harus mencerminkan kesadaran dan kebanggaan nasionalisme bangsa ” , tegasnya.
Sumber: Fraksi PKS DPR RI