Legislator PKS: Sexual Consent Bertentangan dengan Norma Agama, Kultur, dan Hukum di Indonesia

Jakarta (05/02) — Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PKS, Almuzzammil Yusuf memberikan pandangan tentang bahaya penyusupan sexual consent (kesepakatan seksual) pada Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Menurutnya, nomenklatur ‘kekerasan seksual’ tidak tepat, untuk itu Muzzammil cenderung menggunakan peristilahan ‘kejahatan seksual’ atau ‘kejahatan terhadap kesusilaan’ sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 dan buku ke-2 bab 14 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Kita semua sepakat untuk bagaimana meminimalisir kejahatan seksual atau kejahatan terhadap kesusilaan ini, tetapi pada saat yang sama kita tidak membuka persoalan yang juga dahsyat,” ujarnya melalui akun pribadi Twitter-nya sebagaimana disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI dengan INFID (International NGO Forum on Indonesian Development), The Bodyshop, dan Komnas Perempuan terkait RUU PKS, Selasa (2/02).

Ketua DPP PKS Bidang Polhukam itu membeberkan penjelasan sexual violence (kekerasan seksual) dalam paradigma Barat yang terkait erat dengan sexual consent.

“Yang saya maksud adalah sexual violence dalam paradigma Barat adalah merupakan peristiwa yang terjadi ketika sexual consent tidak dilakukan. Definisi kekerasan seksual dalam terminologi Barat mitranya adalah sexual consent, dan bagi mereka penganutnya beranggapan seks itu legal baik menikah ataupun tidak menikah, dan bahkan seks sesama jenis pun dibenarkan sejauh disepakati bersama,” jelas Muzzammil.

Legislator asal Dapil Lampung I tersebut mengungkapkan upaya perluasan definisi perzinahan melalui RUU KUHP di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi) di tahun 2011 dan 2015 yang urung disahkan akibat adanya desakan penolakan.

“Judicial Review MK (Mahkamah Konstitusi) yang diputuskan pada bulan Desember 2017 AILA (Aliansi Cinta Keluarga Indonesia), dari 9 hakim MK, 4 orang menyetujui apa yang diusulkan AILA, salah satunya adalah perluasan definisi perzinahan yang ada di KUHP. Putusan MK telah menegaskan bahwa perzinahan adalah semua hubungan seks diluar tali pernikahan, dan 5 hakim tidak menolak tentang hal tersebut akan tetapi mengatakan pengaturan itu adalah open legal policy,” ucap Muzzammil.

Doktor Ilmu Komunikasi Politik itu menegaskan bahwa pemahaman sexual consent bertentangan dengan norma agama, kultur, dan hukum yang berlaku di Indonesia. Ia juga menyatakan sikap Fraksi PKS DPR RI menolak konsep sexual consent masuk dalam konsep kekerasan seksual.

“Pemahaman sexual consent di Barat sudah sangat meluas, seks sesama jenis adalah hal yang wajar di sana, tapi tidak di negara kita Indonesia. Sexual consent bertentangan dengan norma agama kita, bertentangan dengan kultur kita, bertentangan dengan UUD kita Pasal 28B dan UU Pernikahan kita. Dan, Fraksi PKS DPR RI menolak konsep sexual consent masuk sebagai bagian dari konsep kekerasan seksual, sebab bertentangan dengan semangat Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa), Pasal 28B UUD, dan UU Pernikahan.” pungkas Muzzammil.



Sumber: Fraksi PKS DPR RI
Lebih baru Lebih lama

ads

ads

نموذج الاتصال