Jakarta (26/02) — Anggota Komisi I Fraksi PKS DPR RI, Sukamta menanggapi wacana revisi Undang-undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang digulirkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum lama ini.
Wakil Ketua Fraksi PKS itu menjelaskan, keberadaan UU ITE sebelum tahun 2008 sangat diperlukan sebab jagat digital di Indonesia saat itu seperti hutan belantara yang kerap terjadi kasus penipuan, pornografi, pembajakan kartu kredit, eksploitasi anak, dan bahkan salah satu situs perjudian online terbesar berasal dari Indonesia.
“Akhirnya dibuatlah oleh pemerintah. Mestinya ada dua UU, UU transaksi elektronik dan UU terkait informatika, tetapi kemudian untuk efisiensi digabunglah menjadi satu. Waktu itu para perumus UU ini berpikirnya jangan sampai ada hal-hal yang dilarang itu lolos dikerjakan orang di dunia digital, maka muncullah pasal 26, 27, 28, 29, 30 dan seterusnya sampai 45,” ujarnya dalam acara PKS Legislative Corner, Jum’at (26/02).
Legislator asal Dapil DI Yogyakarta tersebut membeberkan, dalam perjalanannya setelah UU ITE disahkan tahun 2008 banyak terjadi kasus yang justru menonjol terkait dengan hal-hal yang dilarang seperti pencemaran nama baik, kesusilaan, ancaman kekerasan, ujaran kebencian berbasis SARA, dan seterusnya. Sehingga menimbulkan reaksi yang keras, dan kemudian Pemerintah dan DPR bersepakat untuk melakukan revisi.
“Saya masuk Panja (Panitia Kerja) Anggota revisi ini. Beberapa pasal yang sering digunakan mengkriminalkan orang direvisi, antara lain di Pasal 27 Ayat 1, 2, 3, 4, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 44, Pasal 45. Ada beberapa tema yang dimasukkan, salah satunya tema right to be forgotten, saya salah satu pengusulnya waktu itu, intinya terkait dengan orang yang dicemarkan nama baiknya atau dituduh melalui media digital, yang kedua soal perbuatan yang dilarang, tema yang ketiga intersepsi/penyadapan, yang keempat pemutusan akses/pemblokiran, dan yang kelima penyidik dalam hal ini memperjelas wewenang penyidik PNS,” sambungnya.
Doktor Teknik Kimia itu menerangkan, UU ITE tidak membuat norma baru, yang ada di KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dipindahkan ke UU ITE, jika masalah di dalam KUHP ada pembedaan derajat yang dilarang tetapi di UU ITE tidak. Lebih lanjut, Fraksi PKS dalam hal ini diwakili oleh Sukamta berharap pembenahan UU ITE melalui revisi dari sisi pelaksanaan dan koreksi dalam bunyi dari Pasal 27, 28, 29, 36, dan 45.
“Supaya redaksionalnya itu tidak memungkinkan untuk ditarik-ditarik secara multitafsir, jangan sampai nanti ada satu perbuatan dinyatakan melanggar UU ini, untuk perbuatan yang sama dinyatakan tidak melanggar. Kemudian perbuatan yang sama-sama melanggar ada yang diproses, ada yang tidak diproses. Atau perbuatan yang sama-sama diproses, satu dituntut dengan berat sekali langsung dipenjara sebelum diproses, yang satu lagi diproses tapi dengan sangat ringan sekali. Intinya bagaimana menjadikan pasal karet menjadi tidak karet lagi,” imbuhnya.
Politisi PKS tersebut mengingatkan, sembari menunggu revisi, masyarakat agar berhati-hati di dalam menggunakan media digital supaya jangan sampai jatuh melakukan penghinaan, pencemaran nama baik, ancaman, dan hal-hal yang dilarang yang lainnya, termasuk penghasutan yang menuju SARA dan fitnah. Ia berharap, setiap warga Indonesia semakin dewasa dalam menggunakan teknologi digital sehingga dunia digital Indonesia menjadi lebih beradab.
“Ada amanah di dalam Pasal 40, pemerintah melakukan literasi digital, masyarakat ini kan ga boleh menyebarkan hoaks, sesuatu yang kemudian bisa masuk ke dalam kategori SARA, dan seterusnya, kita berharap pemerintah secara proaktif melakukan proses literasi. Sebetulnya saya sudah mendorong melalui rapat-rapat di DPR, pemerintah ini mendapatkan kewajiban untuk membuat PP (Peraturan Pemerintah) agar internet Indonesia menjadi internet yang sehat, jadi secara proaktif bukan hanya reaktif.” tegasnya.
Sukamta menutup, berdasarkan lembaga survei dan apa yang dirasakan orang-orang di luar pemerintahan, citra pemerintah sekarang ini kurang demokratis. Bahkan, di dalam lembaga survei dikatakan selama 14 tahun terakhir pemerintahan yang paling tidak demokratis adalah hari ini. Menurutnya, Presiden Jokowi punya kepentingan untuk memulihkan nama baiknya, sehingga menjadi penting untuk dilakukan revisi.