DPR RI

Aleg PKS Soroti Penghapusan Batasan Usia Pesawat

Jakarta (11/01) — Jatuhnya pesawat Boeing 737-500 Sriwijaya Air rute Jakarta-Pontianak dengan nomor penerbangan SJY 182 menyisakan banyak kontroversi dan mendapat perhatian dari Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama.

Menurut pria yang akrab disapa SJP ini, salah satu yang mendapat perhatian adalah terkait batas usia pesawat, sebab pesawat yang jatuh ini telah berusia 26 tahun.

“Banyak pihak menduga jatuhnya pesawat ini ada kaitannya dengan usia pesawat yang telah uzur. Bagaimanakah sebenarnya dan apakah telah terjadi pelanggaran hukum terkait usia pesawat ini ?,” tanya Suryadi.

Seperti diketahui, imbuhnya, salah satu syarat pendaftaran pesawat udara adalah harus memenuhi ketentuan persyaratan batas usia pesawat udara yang ditetapkan oleh Menteri (Pasal 26 ayat 1 huruf c UU Penerbangan 2009).

“Namun sayangnya aturan ini telah dihapuskan melalui pemberlakuan UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sehingga tidak ada lagi batas usia pesawat pada saat pendaftaran. Sedangkan dalam Peraturan Menteri dengan nomor PM 155/2016, usia batas pesawat angkutan penumpang saat pendaftaran pertama adalah maksimum 15 tahun, sedangkan usia maksimum operasional pesawat angkutan penumpang adalah 35 tahun,” papar SJP.

Tetapi, lanjutnya, kemudian aturan ini juga dicabut melalui PM 27 Tahun 2020 yang ditandatangani pada 13 Mei 2020 sebelum berlakunya UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Sehingga berdasarkan aturan ini, pengoperasian pesawat Sriwijaya Air SJY 182 yang telah berusia 26 tahun tidak melanggar aturan yang ada,” ungkapnya.

Demikian pula pandangan banyak pakar, katanya, penerbangan yang menyatakan bahwa usia pesawat tidak berpengaruh terhadap kelaikudaraan sebuah pesawat.

“Yang berpengaruh adalah faktor perawatannya, didalamnya tentunya termasuk penggantian komponen yang rusak dan juga komponen yang memiliki usia terbatas (kadaluarsa). Dalam hal ini terdapat pencatatan yang terkait dengan usia komponen pesawat, misalnya waktu total penggunaan kerangka pesawat, mesin dan baling-baling,” terang Suryadi.

Waktu total ini, imbuhnya, dapat berupa jumlah total jam penerbangan ataupun berdasarkan kalender. Semua aturan ini terdapat dalam berbagai peraturan menteri yang mengacu kepada Civil Aviation Safety Regulation (CASR) yang juga berlaku secara internasional,” tegasnya.

Oleh sebab itu, SJP menambahkan, untuk menyikapi hal ini haruslah menunggu hasil investgasi dari KNKT terlebih dahulu. Namun demikian untuk saat ini yang jelas dapat kita lihat adalah adanya indikasi pelemahan regulasi dan pengawasan dari Pemerintah terhadap Badan Usaha Angkutan Udara.

“Sebagai contoh adalah pencabutan PM 155/2016 melalui PM 27 Tahun 2020, padahal pada saat itu pasal 26 ayat 1 huruf c UU No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan masih berlaku. Pada saat itu hal ini tentunya merupakan pelanggaran terhadap amanat UU No.1 tahun 2009 oleh Menteri Perhubungan, walaupun kemudian ketentuan tersebut berhasil dihapuskan melalui pemberlakuan UU No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” pungkasnya.

Lebih jauh dari itu, tambah Politisi asal NTB ini menambahkan, UU No.11 tahun 2020 Cipta Kerja juga banyak menghapus pasal-pasal didalam UU No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan, dimana salah satu contohnya adalah pengubahan Pasal 118 ayat 1 huruf f yang tadinya mewajibkan angkutan udara niaga untuk melaporkan kegiatan angkutan udara setiap bulan sekarang tidak lagi disebutkan secara pasti jangka waktunya, padahal untuk angkutan udara bukan niaga pada Pasal 118 ayat 3 huruf c jangka waktu pelaporan tidak diubah tetap setiap bulan.

“Semua ini adalah contoh pelemahan regulasi yang dilakukan oleh Pemerintah sendiri yang hanya menguntungkan pengusaha dan dapat merugikan masyarakat pengguna transportasi udara”, ujarnya.

Kemudian dari sisi pengawasan juga, katanya, terdapat beberapa pelanggaran serius yang terkesan dibiarkan oleh Pemerintah, salah satu contoh yang sangat merugikan masyarakat pengguna transportasi udara adalah belum dilaksanakannya secara tuntas kompensasi kecelakaan pesawat Lion Air JT610 yang tidak kunjung selesai hingga terjadinya kecelakaan Sriwijaya Air SJY 182 pada hari ini.

“Atas dasar indikasi-indikasi tersebut, patut dicurigai bahwa segala sengkarut masalah penerbangan sesungguhnya bermuara di tingkat regulasi, pelaksanaan hingga pengawasan oleh Pemerintah sendiri. Sehingga sudah seharusnya Pemerintah juga ikut bertanggung jawab dan segera memperbaiki segala jenis regulasi yang terlalu lemah dan memperkuat pengawasan terhadap Badan Usaha Angkutan Udara,” ujar Anggota Komisi V DPR RI ini mengakhiri.



Sumber: Fraksi PKS DPR RI