DPR RI

Legislator PKS Tegaskan Kolong Jalan Tol Jadi Tanggung Jawab Pengelola

Jakarta (10/01) — Belakangan marak pemberitaan terkait kolong jalan tol karena adanya permasalahan sosial di beberapa lokasi kolong jalan tol.

Permasalahan yang terjadi misalnya ada tuna wisma bahkan siapa saja yang menjadikan kolong jalan tol sebagai hunian yang ilegal tentunya. Selain dampak sosial, adanya penghuni ilegal tersebut bisa menimbulkan dampak yang membahayakan keselamatan, misalnya kebakaran.

Di Kota Surabaya misalnya ada sejumlah jiwa yang menempati kolong Jalan Tol Waru-Tanjung Perak yang dikelola PT Jasa Marga. Data yang didapat jatimnow.com di lokasi, jumlah keluarga yang menghuni kolong Jalan Tol Waru-Tanjung Perak hingga Kampung 1001 Malam adalah 175 kepala keluarga (KK).

Wilayah ini masuk dalam kawasan Lasem Baru, Kelurahan Dupak, Kecamatan Krembangan. Warga menempati kolong jalan tol dan Kampung 1001 Malam itu sejak Tahun 1999.

Pada tanggal 30 Maret 2019 pernah terjadi kebakaran hebat di kolong Ruas Tol Dalam Kota sekitar Jembatan Tiga-Pluit Km 25 yang berakibat ada pengalihan lalu lintas.

Diketahui asap tebal berasal dari kebakaran lapak pemukiman liar di bawah kolong tol Pluit arah Bandara, tepatnya di Jalan Yos Sudarso, wilayah Pejagalan, Penjaringan, Jakarta Utara. Bahkan sebelumnya, kebakaran hunian di bawah jalan tol Jembatan Tiga pada tahun 2007 mengakibatkan konstruksi jalan tol berkurang kemampuannya sehingga diperlukan perbaikan yang memerlukan biaya miliaran rupiah.

Di samping itu pengguna tol turut merasakan akibatnya karena jalan tol ditutup satu lajur sehingga mengakibatkan kemacetan panjang.

Anggota DPR Komisi V dari Fraksi PKS Sigit Sosiantomo menyampaikan pandangan terkait tanggung jawab pengawasan pada kolong jalan tol. Menurutnya kolong tol merupakan bagian Ruang Milik Jalan (Rumija) yang menjadi bagian dari keseluruhan jalan tol, dan itu menjadi tanggung jawab pengelola jalan tol. Pengelola jalan tol adalah Badan Usaha jalan tol yang berada dalam pengawasan penyelenggara jalan yaitu Kementerian PUPR.

“Menurut Pasal 11 Undang Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, ruang milik jalan meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat jalan. Sedangkan ruang pengawasan jalan yaitu ruang tertentu di luar ruang milik jalan yang ada di bawah pengawasan penyelenggara jalan,” terang Sigit mengutip substansi peraturan perundang-undangan.

Pada Pasal 43 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol disebutkan bahwa pemanfaatan ruang milik jalan tol hanya diperuntukkan bagi ruang manfaat jalan tol, penambahan lajur lalu lintas, serta ruang untuk pengamanan jalan.

Selain itu dengan tetap memperhatikan keselamatan dan kelancaran lalu lintas dan keamanan konstruksi jalan tol, Badan Usaha dapat menggunakan ruang milik jalan tol di luar ruang manfaat jalan tol untuk penempatan iklan, bangunan utilitas, dan/atau utilitas.

“Jika terjadi kesemrawutan akibat hunian atau lapak ilegal pada rumija sudah semestinya pengelola tol dan penyelenggara jalan tol bertanggung jawab melakukan langkah penertiban. Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 tentang Jalan menjelaskan apabila terjadi gangguan dan hambatan terhadap fungsi ruang milik jalan, penyelenggara jalan wajib segera mengambil tindakan untuk kepentingan pengguna jalan,” lanjut Sigit.

Pemangku wilayah yang dilalui jalan tol bisa saja mengusulkan pemanfaatan kolong jalan tol sebagaimana surat yang dilayangkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kepada Menteri PUPR pada April 2019.

Anies berniat menertibkan kesemrawutan di kolong tol namun disadari Pemprov DKI tak punya kewenangan untuk mengelola kolong jalan tol.

“Terkait usulan pengelolaan kolong jalan tol tersebut saya berharap Menteri PUPR sudah melakukan tindak lanjut melalui jajarannya agar di kemudian hari tak ada lagi permasalahan sosial bahkan kebakaran akibat adanya hunian pada rumija. Karena sebenarnya kan Menteri PUPR juga berkepentingan terkait pemeliharaan,” pungkasnya.



Sumber: Fraksi PKS DPR RI