DPR RI

Wakil Ketua FPKS: Pemerintah Kurang Serius Implementasikan Energi Baru Terbarukan

Jakarta (21/04) — Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo memutuskan Pemerintah akan mempercepat realisasi target bauran listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT).

Sidang yang dilaksanakan Selasa, 20/4/2021 itu juga menetapkan akan menjadikan energi surya sebagai sumber energi utama pengembangan EBT.

Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto, menyambut baik putusan tersebut.

Menurut Mulyanto, keputusan ini adalah langkah yang tepat karena sumber energi surya di Indonesia sangat melimpah. Selain itu harga listrik dari energi surya semakin kompetitif.

Untuk itu Mulyanto mendorong Pemerintah konsisten melaksanakan rencana tersebut. Jangan sampai putusan DEN itu hanya sekedar rencana. Sementara pelaksanaannya sama seperti masa-masa sebelumnya.

“Selama ini Pemerintah terlihat kurang serius dalam implementasinya. Terkesan business as usual,” kata Mulyanto.

Mulyanto mencatat sedikitnya ada dua hal yang perlu diperhatikan Pemerintah dalam mewujudkan target bauran EBT. Pertama, soal regulasi yang kondusif. Kedua, soal lokus pembangunan EBT.

Menurutnya, Pemerintah harus mendukung penuh masyarakat yang proaktif berpartisipasi dalam program penggunaan listrik dari sumber EBT ini, baik terkait perizinan maupun regulasi.

“Dalam jangka pendek mestinya Pemerintah melonggarkan alur dan syarat perizinan agar pihak swasta tertarik menggunakan EBT. Jangan sampai izin berlarut-larut bahkan sampai lebih dari 6 bulan. Ini bisa membuat swasta maju-mundur,” ujar Mulyanto.

Selanjutnya, kata Mulyanto, Pemerintah perlu menata ulang skema dan besaran biaya ekspor-impor listrik EBT, khususnya dari sumber tenaga surya.

“Sekarang ini proporsinya 1: 0,65. Dengan alasan perlu angka 0,35 atau 35 persen sebagai biaya dari PLN untuk menjalankan proses ini. Artinya masih ada beban sebesar 35 persen dari tarif yang dikenakan kepada masyarakat oleh PLN.  Seharusnya beban itu dihilangkan, sehingga proporsi ekspor-empor listrik dari dan ke PLN menjadi sebesar 1:1,” kata Mulyanto.

Mulyanto pesimistis target bauran EBT 23 persen di tahun 2025 akan tercapai bila Pemerintah masih bertindak bisnis as usual atau terkesan ogah-ogahan.

Menurutnya, perlu gebrakan dan progam-program inovatif dalam mendorong partisipasi sektor swasta dalam penerapan EBT ini.

Mulyanto menegaskan PLTS ini sangat prospektif. Selain harganya kompetitif juga sangat fleksibel untuk dipasang di atap rumah-rumah masyarakat. Apalagi lokusnya untuk daerah-daerah yang masih belum teraliri listrik, karena jauh dari transmisi listrik. Atau pada daerah-daerah yang masih menggunakan listrik dari sumber BBM impor.

“Program ini dapat meningkatkan kontribusi listrik EBT, elektrifikasi menuju 100% dan reduksi BBM impor sekaligus. Jadi Pemerintah jangan ragu-ragu untuk memberikan insentif,” tandas Mulyanto.

Untuk diketahui, Indonesia memiliki harta karun sumber energi surya yang sangat besar, karena sebagai negara yang dilalui Garis Khatulistiwa, dimana matahari bersinar sepanjang waktu.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi itu mencapai lebih dari 200 GW. Sementara sampai tahun 2020, pemanfataan listrik dari sumber energi ini baru mencapai 150 MW atau sebesar 0,07%-nya.  Jumlah yang masih sangat kecil.

Selain itu, PLTS memiliki keunggulan dari segi fleksibilitas lokasi pembangkit. Tidak seperti sumber energi lain yang sangat rigid terkait lokasi pembangkitnya. Bahkan panel listrik energi surya ini dapat dipasang di atas atap rumah atau kantor.

Dan yang utama, karena perkembangan teknologi harga energi surya terus turun dan semakin kompetitif.  Pada tahun 2013 harga listrik tenaga surya sebesar 20 sen dolar (per kWh).

Lima tahun terakhir harganya menurun sampai separonya menjadi 10 sen. Hari ini PLTS Apung di Cirata harganya 5,8 sen dolar (per kWh). Bahkan, diinformasikan ada calon investor yang berminat untuk investasi pembangunan PLTS di Tanah Air dengan harga listrik hanya sebesar 4 sen dolar per kWh.  Di beberapa negara Asean harga listrik dari PLTS ini bahkan bisa mencapai 1.7 sen/kWh. Jauh lebih murah dari listrik PLTU.



Sumber: Fraksi PKS DPR RI