DPR RI

Dukung HRS Tolak Vonis dan Banding, HNW: Harusnya Vonis Berkeadilan, Bukan Diskriminasi Hukum

Jakarta (26/06) — Anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid, mengkritisi vonis empat tahun terhadap Habib Rizieq Shihab dalam kasus tes swab di RS UMMI sebagai vonis yang tidak memenuhi rasa keadilan umum dan harapan tegaknya hukum berkeadilan, ketentuan yang sangat dipentingkan dalam Pancasila sehingga disebutlah ‘adil’ dalam sila ke 2 dan ke 5.

Terpenuhinya rasa keadilan itu, kata Hidayat, juga menjadi ciri daripada Negara hukum yang sudah dipaterikan dalam UUD NRI 1945 psl 1 ayat 3, yang salahsatu cirinya adalah kesetaraan di depan hukum (equality before the law) sebagaimana juga ditegaskan dalam pasal 27 ayat 1 UUD NRI 1945.

“Maka wajar sekali apabila Habib Rizieq Shihab menolak dan menyatakan banding atas vonis hakim itu, karena khalayak awam hukum pun sudah bisa menilai sendiri adanya ketidakadilan dalam vonis tersebut dan ketidaksesuaiannya dengan fakta di lapangan soal ‘kebohongan’ dan fakta tidak terjadinya keonaran akibat pernyataan HRS” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Jum’at(25/06).

HNW sapaan akrabnya mengatakan pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) bahwa Habib Rizieq terbukti berbohong atas tes swab antigen yang dilakukannya sehingga menimbulkan keonaran.

“Saksi ahli dibawah sumpah menyatakan bahwa pernyataan HRS bukan kebohongan. Dan berbeda dengan vonis Hakim, ternyata tidak pernah terbukti bahwa setelah dipublikasikannya pernyataan HRS kemudian terjadinya keonaran di masyarakat. Terjadinya ‘keonaran’ di masyarakat justru akibat pernyataan dakwaan atau tuduhan Jaksa kepada HRS yang mempersoalkan ‘imam besar’ nya HRS,” ujarnya.

Sekalipun vonis hakim itu lebih rendah dari tuntutan Jaksa yang memang terlalu tinggi dan tidak berdasarkan keadilan hukum, HNW menilai, bahwa dengan logika vonis hakim soal kebohongan publik terkait covid-19 yang katanya menimbulkan keonaran.

“Maka setelah preseden vonis terhadap HRS itu, pengadilan di Indonesia demi menegakkan prinsip negara hukum berkeadilan, mestinya juga memberikan sanksi hukum kepada beberapa menteri yang diawal masa pandemi covid-19 malah secara demonstratif menyampaikan ke publik informasi-informasi yang tidak sesuai dengan kebenaran atau fakta. Ada yang sebut covid-19 tak akan masuk ke Indonesia karena birokrasi dan iklim tropisnya, ada yang sebut virus covid-19 akan mati sendiri karenanya tak perlu masker karena masker hanya untuk yang sakit, ada yang bilang tidak akan kena covid karena biasa makan nasi kucing. Ada yang promosikan kalung anti covid-19 dan lainnya,” urai HNW.

Pernyataan publik beberapa Menteri itu, imbuhnya, tidak sesuai fakta tapi karena menyepelekan soal covid-19 sehingga penanganan atasi covid-19 tidak serius dan terprogram sejak awal.

“Ini justru yang mengakibatkan keonaran me-nasional, yang menimbulkan banyak korban jiwa, ekonomi dan sosial politik juga. Lalu, mengapa mereka tidak terkena sanksi hukum ? Apalagi sampai ditahan dan dimajukan ke meja hijau?,” tambahnya.

Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga menilai beberapa kejanggalan dalam vonis hakim tersebut, diantaranya adalah opsi yang diberikan oleh majelis kepada Habib Rizieq untuk meminta pengampunan atau grasi kepada Presiden Joko Widodo.

HNW mengatakan bahwa opsi yang diberikan ini, walau memang diatur dalam KUHP dan ada kewenangan presiden memberikan grasi, tapi itu baru bisa bila tersangka menerima vonis hakim. Karenanya penyebutan alternatif ‘pengampunan atau grasi’ itu menjadi sangat tidak lazim, karena HRS tegas menolak vonis hakim, dan masih ada berbagai upaya hukum yang tersedia, seperti banding yang akan ditempuh oleh HRS.

“Ini kok majelis memberi opsi pengampunan, seakan HRS sudah menerima dan menjadi persoalan pribadi dengan Presiden Jokowi. Sosok yang juga disoroti publik terkait dengan masalah kerumunan saat covid-19 dan berbagai pernyataannya yang dinilai tidak terbukti di lapangan seperti ekonomi yang meroket.

Padahal, dengan adanya pernyataan banding, Putusan PN Jakarta Timur ini belum memperoleh kekuatan hukum tetap. Alternatif pengampunan atau grasi belum bisa dimajukan atau diberikan. Masih tersedia upaya hukum biasa, seperti banding dan kemudian kasasi. Atau di akhir upaya hukum luar biasa, seperti peninjauan kembali. Opsi hakim tersebut sangat tidak lazim,” ujarnya lagi.

Oleh karenanya, HNW mendukung upaya Habib Rizieq untuk mencari keadilan melalui pengadilan tinggi melalui permohonan banding, agar menghadirkan vonis majelis hakim yang benar-benar adil dan profesional.

“Sudah sangat wajar dan benar apabila upaya banding yang ditempuh. Ini juga untuk menunjukkan kepada masyarakat baik aparat maupun rakyat bahwa Habib Rizieq selalu mentaati prosedur hukum yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.

HNW berharap di pengadilan tinggi nanti, majelis banding yang akan mengadili perkara ini betul-betul independen, dapat bertindak objektif, adil dan proporsional, untuk selamatkan marwah dan membuktikan adanya negara hukum yang berkeadilan. Agar dengan demikian kembalilah kepercayaan Rakyat, dan tidak menimbulkan keonaran dan kerumunan, apalagi saat covid-19 yang makin membahayakan. Pasalnya, sebagaimana putusan majelis di perkara Habib Rizieq lainnya, diakui sendiri oleh Majlis Hakim ditemukan adanya diskriminasi dan ketidakadilan hukum, karena ada banyak pihak (sebelum kasus HRS maupun sesudahnya) yang jelas-jelas melanggar protokol kesehatan, tetapi hanya Habib Rizieq yang (sesudah dijatuhi hukuman administrasi) masih juga ditahan dan dikenai hukuman pidana.

“Tegaknya keadilan hukum akan pulihkan kepercayaan pada masih adanya negara hukum, selamatkan eksistensi negara, dan menenteramkan Rakyat agar makin punya imunitas yg sangat mereka perlukan saat covid-19 makin mengganas” pungkas HNW.



Sumber: Fraksi PKS DPR RI