DPR RI

Milad 19 Tahun PKS: Ramadhan, Kemerdekaan dan Kemenangan

Oleh : K.H. Bukhori Yusuf, Lc., M.A. (Anggota Komisi VIII DPR RI/ Ketua DPP PKS Bidang Litbang)

Dalam panorama sejarah umat Islam, kemenangan dan bulan Ramadhan adalah dua hal yang saling bertaut satu sama lain. Tepatnya pada permulaan tahun ke-2 Hijriyah ketika perintah puasa pertama kali diturunkan.

Bertempat di sekitar 155 km arah barat daya Kota Madinah, sebuah padang gersang yang dikelilingi gunung-gunung tinggi menjadi saksi perjumpaan dua pasukan yang membawa misi yang haq dan misi yang batil.

Bahkan dalam As Sirah An Nabawiyah dijelaskan, kedua pasukan tersebut terdiri dari pasukan musyrikin Mekah dengan kekuatan tempur sejumlah 1.000 pasukan berhadapan dengan pasukan muslimin Madinah dengan kekuatan tempur sejumlah 319 pasukan.

Secara logika manusia, jelas ini akan menjadi duel yang tidak imbang. Muskil bagi pasukan muslimin kala itu untuk bertahan, apalagi memenangkan pertempuran yang berat sebelah itu. Dan mustahil bagi pasukan kecil mengalahkan pasukan besar.
Kendati demikian, logika Allah nyatanya tidak bekerja seperti itu.

Pertempuran pun berkecamuk. Pekik takbir dan ayunan pedang pasukan muslimin berkelebat meluluhlantahkan barisan kaum musyrikin. Di dalam tendanya, Muhammad tidak hentinya memanjatkan doa hingga akhirnya pertolongan Allah datang dari arah yang tidak disangka-disangka.

Sebagaimana tercatat dalam Q.S. Al Anfaal ayat 9 disebutkan, seribu malaikat turun dari langit dengan deras, memberikan bala bantuan pasukan muslimin untuk mengalahkan kaum musyrikin. Alhasil, kemenangan pun semakin terang menunjukan sinarnya.

Di akhir episode, kita semua mengetahui pertempuran berhasil dimenangkan oleh pasukan muslimin dengan gemilang. Sejarah mencatat, pertempuran itu terjadi bertepatan pada tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah. Tidak berhenti disitu, momentum Ramadhan nyatanya belum usai menampilkan keberkahannya. Tepat 6 tahun kemudian, pada tanggal 20 Ramadhan tahun kedelapan Hijriyah, kaum muslimin kembali berhasil memperoleh kemenangan selanjutnya.

Di masa ini, penaklukan Mekah (Futuh Mekah) dilakukan kaum muslimin tanpa terjadi pertumpahan darah.
Berkah Ramadhan dalam perjuangan keumatan juga berpengaruh pada kemenangan umat Islam di Nusantara beberapa dekade kemudian. Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah (2009) mencatat, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati bersama menantunya Fatahillah berhasil mengusir Kerajaan Katolik Portugis dari Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527 atau bertepatan dengan 22 Ramadhan 933 H.

Alhasil, kemenangan ini berhasil menggagalkan upaya imperialisme Portugis yang hendak meneguhkan penjajahannya di Nusantara. Maka sebagai wujud syukur, nama pelabuhan Sunda Kelapa lantas digantinya dengan nama Jayakarta atau Jakarta. Untuk diketahui secara filosofis, nama Jakarta itu sendiri diadopsi dari Surah Al-Fath (48:1) yang bermakna kemenangan paripurna (Fathan Mubina).

Bergerak maju sekitar 4 abad kemudian, kita akan tiba pada masa revolusi kemerdekaan. Bertempat di sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, proklamasi dikumandangkan, tepat pada 9 Ramadhan 1364 H atau 17 Agustus 1945. Ada sisi menarik dari peristiwa ini yang tidak banyak publik ketahui.

Yakni, kediaman yang dijadikan tempat untuk pembacaan proklamasi sekaligus tempat Fatmawati menjahit sendiri Bendera Merah Putih pada malam sebelum proklamasi adalah hibah yang diberikan oleh Faradj bin Said Awad Martak, seorang saudagar Arab yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Sumber sejarah ini diperkuat dengan dokumen berkop surat resmi Kepresidenan Republik Indonesia yang ditujukan kepada Faradj Bin Said Awad Martak dalam rangka ucapan terima kasih bertanggal 14 Agustus 1950.

Surat ucapan terima kasih pemerintah Republik Indonesia ini ditandatangani oleh Menteri Pekerjaan dan Perhubungan, Ir. M. Sitompul, selaku perwakilan pemerintah Republik Indonesia.
Pergulatan bangsa untuk merebut takdir kebangsaannya sebagai republik yang berdaulat tidak dicapai dengan proses yang mudah.

Banyak jiwa yang telah menemui syahid. Sederet pengorbanan tokoh hingga rakyat kecil terbilang tidak terhitung. Sebab bagi rakyat kala itu, merebut kemerdekaan adalah perjuangan atas martabat diri; terbebas dari ketakutan, kekangan, dan luka, semata-mata demi terwujudnya kehendak untuk menjadi bangsa yang mandiri.

Sementara, khususnya bagi umat Islam, perjuangan merebut kemerdekaan adalah pengamalan dari syariat Islam itu sendiri, yakni upaya untuk melindungi agama, jiwa, pikiran, harta, dan keturunan.

Maka pada titik ini, momentum kemerdekaan adalah titik persimpangan yang mempertemukan tujuan nasionalisme dan syariat Islam.
Selain itu, proklamasi itu sendiri memiliki makna filosofis yang mempertemukan dimensi politik dan agama.

Pertama, proklamasi adalah wujud deklarasi politik yang meneguhkan kedudukan Indonesia yang setara dengan bangsa lainnya. Ia adalah pengumuman kepada dunia bahwa bangsa ini telah memenuhi sejumlah unsur penting sebagai syarat berdirinya sebuah negara, yakni adanya pemerintah dan rakyat. Dengan demikian, ia bukan lagi sebuah terra nulius (tanah tidak bertuan) dimana keadaan ini sangat membuka ruang bagi kolonisasi oleh bangsa lain.

Kedua, makna proklamasi bagi umat Islam adalah deklarasi kemerdekaan manusia dari penghambaan kepada manusia lain menuju penghambaan manusia kepada Allah semata. Dengan kata lain, proklamasi adalah deklarasi Tauhid bagi setiap muslim yang hidup di atas tanah Indonesia.

Jika kita tadaburi peristiwa sejarah di atas, maka bisa kita peroleh bahwa Ramadhan adalah titik balik yang mengubah situasi sejarah kala itu. Ramadhan menjadi energi yang membawa manusia yang hidup pada zaman itu untuk melakukan lompatan kemenangan. Mereka tidak melihat Ramadhan sebagai hambatan yang membuat mereka lesu bahkan mengendurkan perjuangan.

Ramadhan adalah sumber kekuatan mereka untuk meningkatkan kerja keras, keberanian, dan kepasrahan yang mutlak pada Allah. Berbekal dengan kerja keras yang tiada putus dan keyakinan yang lurus akhirnya Allah ridha terhadap mereka untuk menjemput kemenangan yang lama dinantikan.

Sama halnya dengan ikhtiar kita dalam perjuangan politik keumatan. Kita memulai dari jumlah yang sedikit, dari bukan apa-apa, dan bukan siapa-siapa. Namun Allah menganugerahkan kita energi yang lebih, kekuatan konsistensi, serta hati dan lisan yang selalu tertaut untuk berzikir pada-Nya melalui amal perbuatan kita bagi kemaslahatan umat.

Karena itu, saya percaya Ramadhan adalah kunci untuk melakukan lompatan kemenangan.

Lebih lanjut, setidaknya ada tiga strategi untuk mencapai kemenangan politik keumatan kita. Pertama, konsistensi terhadap pembelaan rakyat dan negara.

Kedua, kesediaan untuk bekerjasama dengan siapapun dalam mewujudkan cita-cita negara. Ketiga, menjunjung tinggi demokrasi yang lebih substantif. In shaa Allah, apabila ketiga hal ini berhasil diramu dan dilaksanakan dengan baik, maka bukan hal yang mustahil, ikhtiar kita selama ini akan mengantarkan kita pada kemenangan sejati.

Ketiga hal ini adalah domain yang harus dimaksimalkan dalam wilayah ikhtiar kita saat ini.

Sebagaimana kombinasi antara ikhtiar dan doa telah berhasil memenangkan kaum muslimin di pertempuran Badar, maka sudah semestinya Ramadhan ini jadi kesempatan baik bagi kita untuk maksimal dalam melangitkan doa seturut dengan melejitkan amal.

“Nasrun Minallah wa Fathun Qarib”



Sumber: Fraksi PKS DPR RI