
Tasikmalaya (05/10) — Menanggapi Pendapat Ahli di sidang uji materi Mahkamah Konstitusi (MK) atas Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang disiarkan langsung di YouTube MK pada Kamis (01/10/2020) .
Toriq Hidayat membenarkan bahwa layanan video streaming seperti Netflix masuk kategori siaran dan mesti diatur oleh negara.
“Negara harus melakukan pengaturan dan atau memberi perlindungan publik dari tayangan negatif. Karena itu perlu ada aturan yang mengaturnya dan perlu ada pihak yang merepresentasikan negara untuk mengatur konten layanan video streaming”, ungkap anggota Komisi I DPR RI ini.
Anggota Legislatif asal Fraksi PKS ini menambahkan bahwa sebagian besar platform layanan video streaming berbayar yang masuk ke Indonesia berasal dari luar negeri, sebut saja netflix, cacthplay, hooq, dan banyak lagi. Maka perlu representasi negara untuk mengaturnya.
“Pengawasan dan pengaturan oleh Pemerintah ini bertujuan menghindari konten layanan yang memberikan pengaruh buruk pada masyarakat. Menimbulkan kerusakan moral, karena mengandung konten pornografi, sadisme, radikalisme bahkan penipuan,” tegas Toriq.
Gugatan yang dilayangkan oleh pemohon yakni dua perusahaan tv nasional ke MK bukan tanpa sebab. UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran saat ini sudah tidak mampu mengatur perkembangan tekhnologi penyiaran yang terus berkembang.
Pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyertakan penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur dalam Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran. Karena penyedia layanan tersebut tidak terikat dalam UU Penyiaran maka tidak harus memenuhi syarat berbadan hukum Indonesia serta memperoleh izin siaran seperti penyelenggara siaran konvensional.
“Hadirnya gugatan juga tidak terlepas dari lamanya proses revisi UU penyiaran. Kami mengakui ada banyak pasal dan pengertian yang perlu diperbarui pada regulasi ini bersamaan perkembangan tekhnologi penyiaran yang sangat pesat. Ini betul-betul harus dibahas dari awal”, jelas Toriq.
Contohnya tentang definisi penyiaran tambahnya, definisi terkait penyiaran nantinya harus memuat tentang layanan video streaming. Perusahaan teknologi atau over the top (OTT) maupun media baru juga akan masuk. Dengan demikian diharapkan, ketika revisi UU Penyiaran selesai, aturan ini juga mengantisipasi perubahan ke depan.
“Revisi UU penyiaran diharapkan bukan hanya mengantisipasi perubahan teknologi 5 tahun kedepan tapi juga sampai puluhan tahun yang akan datang. Semoga Revisi UU penyiaran ini bisa selesai di akhir tahun ini,” tutup Toriq.
Sumber: Fraksi PKS DPR RI